Oleh: Mustari Mustafa
Redaksi: Bahribantenreborn.net
Gelombang aksi massa yang merebak di berbagai daerah kian menegaskan bahwa ada sesuatu yang salah dalam praktik bernegara. Bagi Mustari Mustafa, Presidium KAHMI Sulsel sekaligus Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, aksi tersebut adalah letupan panjang akibat akumulasi kejanggalan yang lama diabaikan.
“Mahasiswa, masyarakat sipil, hingga rakyat biasa tidak turun ke jalan untuk mencari keributan. Mereka turun karena rasa keadilan publik sudah terkoyak,” tegas Mustari kepada Bahribantenreborn.net.
Deretan Kejanggalan Negara
Menurut Mustari, ada sederet kejanggalan yang semakin nyata terlihat:
- Konstitusi diutak-atik demi kepentingan elite, mengabaikan suara rakyat.
- Pemimpin tidak profesional dalam menjalankan mandat.
- Kasus hukum dipermainkan di depan publik, seakan panggung sandiwara.
- Kenaikan gaji aparat dan penghargaan negara tanpa alasan yang jelas.
- Pajak dinaikkan bersamaan dengan kenaikan gaji DPR, membuat rakyat semakin kecewa.
- Demonstrasi ditangani dengan represif, rakyat yang seharusnya dilindungi justru jadi korban.
- Elite politik memilih aman, hanya melontarkan pernyataan normatif yang jauh dari realitas.
“Semua ini adalah akar meledaknya aksi sosial. Negara seakan berdiri di balik tembok raksasa, kebal terhadap norma, konstitusi, dan aturan,” kritik Mustari.
Analisis Politik dan Filsafat
Mustari membingkai situasi ini lewat teori politik dan filsafat:
- Max Weber: Negara modern semestinya berlandaskan legitimasi legal-rasional, tapi di Indonesia hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
- Antonio Gramsci: Aksi massa adalah counter-hegemony, koreksi moral terhadap kekuasaan yang menyimpang.
- Plato: Negara tanpa keadilan akan hancur oleh kontradiksi internalnya sendiri.
Pesan Keras untuk Presiden Prabowo
Kepada Presiden Prabowo Subianto, Mustari menegaskan bahwa situasi ini bukan sekadar gejolak biasa.
“Jika alarm ini diabaikan, rakyat akan semakin yakin negara telah tercerabut dari kontrak sosial. Polisi yang kelelahan di lapangan bukan hanya tanda bobolnya barisan keamanan, tapi juga rapuhnya legitimasi politik,” ujarnya.
Sebaliknya, ia menekankan perlunya Presiden tampil proaktif: hadir bersama rakyat, memberi arahan moral kepada aparat, serta membuka dialog dengan mahasiswa dan masyarakat.
“Bangsa ini butuh pemimpin yang berani hadir bersama rakyat, bukan bersembunyi di balik protokol dan pagar istana,” tandasnya.
Penutup
Mustari mengingatkan, sejarah kini mengetuk pintu kepemimpinan nasional. “Alarm ini jangan diabaikan. Sekali kepercayaan rakyat runtuh, tidak mudah dipulihkan kembali,” pungkasnya.
.Profil Penulis
Mustari Mustafa adalah Presidium KAHMI Sulsel, Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, serta Mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Bangkok.
Redaksi: Mediabahri.com