Akar Sejarah yang Panjang: Dari Kerajaan ke Negara Modern
Peradilan agama di Indonesia memiliki akar sejarah yang sangat kuat, jauh sebelum masa kolonial. Di berbagai kerajaan Islam seperti Mataram, Aceh, Banten, Cirebon, dan Banjar, lembaga peradilan Islam telah lama hadir melalui sosok qadhi—hakim agama yang menyelesaikan persoalan perdata seperti pernikahan, warisan, dan wakaf. Di Kesultanan Aceh misalnya, peradilan Islam menjadi pilar utama pemerintahan dengan struktur yudisial yang mapan: dari Qadhi Uleebalang di daerah, hingga Qadhi Malikul Adil di pusat pemerintahan.
Bahkan pada masa pendudukan Jepang, eksistensi peradilan agama diakui kembali melalui Atjeh Syu Rei Nomor 12 Tahun 1944, yang menetapkan keberadaan Syukyo Hooin atau Mahkamah Agama di Aceh—sebuah bentuk pengakuan khusus terhadap karakter hukum Islam di wilayah tersebut.
Staatsblad 1882 dan Awal Pengakuan Formal
Penerbitan Staatsblad 1882 Nomor 152 dan 153 menjadi momen penting karena menandai berdirinya lembaga Priesterraad atau Raad Agama di wilayah Jawa dan Madura. Meski memiliki kewenangan terbatas dan tidak mandiri (putusan harus dieksekusi melalui landraad atau pengadilan umum), pembentukan lembaga ini menjadi titik awal legitimasi hukum Islam di bawah sistem kolonial.
Tercatat dua hal penting dari peristiwa ini:
- Lahirnya Raad Agama sebagai lembaga formal yang menyelesaikan perkara pernikahan, perceraian, dan rujuk.
- Dibukanya jalan perjuangan bagi tokoh-tokoh Islam dan bangsa Indonesia untuk memperkuat lembaga peradilan agama pascakemerdekaan.
Perjuangan Pascakemerdekaan: Dari Ketimpangan Menuju Kesetaraan
Setelah kemerdekaan Indonesia, status peradilan agama tidak langsung memperoleh posisi setara dengan peradilan lainnya. Di bawah Kementerian Agama, peradilan agama terpisah dari Mahkamah Agung. Kondisi ini memicu perjuangan panjang yang didorong oleh para hakim agama, ulama, serta tokoh politik
Redaksi Bahribantenreborn.net