Dimensi Kemanusiaan Dalam Setiap Putusan Hakim

Redaksi Media Bahri
0


Jakarta – Selasa, 8 Juli 2025 - 
Bahribantenreborn.net | Dalam dinamika persidangan, tak semua yang penting mampu terdengar. Di balik setiap putusan hakim, tersimpan jeritan hati, harapan, luka, dan doa yang kerap tak tertulis namun sarat makna. Hukum yang sejati bukan hanya yang menetapkan siapa benar dan siapa salah, tetapi hukum yang mampu memberi tempat bagi suara-suara yang tersembunyi dalam diam.

Pesan mendalam ini disampaikan oleh M. Khusnul Khuluq melalui refleksi bertajuk “Dimensi Kemanusiaan Putusan Hakim” yang diterbitkan oleh Humas Mahkamah Agung. Ia menyoroti bahwa dalam ruang sidang, meskipun pertimbangan hukum telah dibacakan, masih ada suara-suara yang tertinggal: suara luka seorang ibu, kebingungan seorang anak, penyesalan seorang ayah—semuanya tak tertulis, namun sangat hidup dalam kehidupan nyata para pencari keadilan.

“Dalam setiap putusan yang dibacakan, ada suara yang tetap hening,” tulis Khusnul. Suara-suara ini, menurutnya, tidak tercatat dalam berita acara, tetapi justru menjadi bagian penting dari dimensi batiniah keadilan yang sering terabaikan oleh mekanisme hukum yang kaku dan prosedural.

Ia menekankan perlunya pendekatan restoratif dalam hukum, di mana korban, pelaku, dan masyarakat memiliki ruang untuk bicara jujur dan terbuka. Pendekatan ini memungkinkan keadilan tidak hanya diputuskan oleh hakim, tetapi juga dirasakan dan disepakati oleh semua pihak.

Dalam konteks ini, Khusnul menyebut bahwa suara yang tak terdengar bisa berasal dari kelompok rentan: perempuan yang terpinggirkan, anak-anak, komunitas adat, hingga masyarakat kecil yang bahkan tak tahu cara menyuarakan haknya. Jika suara-suara ini terus dikesampingkan, maka hukum akan kehilangan fungsinya sebagai penjaga keadilan substantif.

Ia menegaskan bahwa keadilan sejati membutuhkan keberanian intelektual dan kerendahan hati dari para penegak hukum. “Hukum bukan menara gading, tetapi jembatan yang harus bisa dilalui oleh semua orang, termasuk yang paling tak berdaya,” tegasnya.

Mengutip nilai-nilai keagamaan, Khusnul mengaitkan suara hati sebagai petunjuk ilahi. Ia menyatakan, “Hukum yang tak mendengar suara hati adalah hukum yang kehilangan arah. Putusan yang menyentuh batin adalah bentuk amal dan ibadah.”

Pada akhirnya, ia mengajak para penegak hukum untuk menyelami lebih dalam makna keadilan. Sebab keadilan bukan hanya soal logika hukum, tetapi juga tentang keberanian mendengarkan suara yang nyaris hilang. “Jika semua suara yang tak terdengar itu diberi ruang, maka putusan hukum akan menjadi pesan moral yang hidup—yang menyembuhkan dan memperkuat jaringan kemanusiaan di masyarakat.”

Tulisan ini menjadi pengingat bahwa hukum hidup dalam manusia, dan manusia tidak hanya hidup dalam kata-kata, melainkan juga dalam rasa dan pengalaman. Sebuah panggilan agar hukum lebih manusiawi, lebih mendengar, dan lebih membumi.

Penulis: M Khusnul Khuluq

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top