Sorotan Kamera Bukan Tolok Ukur Empati: Warga Kresek Tagih Kepedulian Nyata, Bukan Pencitraan

Redaksi Media Bahri
0



Kab. Tangerang — bahribantenreborn.net | Langkah cepat Camat Kresek Tatang Suryana bersama Kapolsek Kresek AKP A. Suryadi mengunjungi Pak Jana (51), seorang penyandang disabilitas di Desa Kemuning, sempat menuai apresiasi dari berbagai pihak. Bantuan sembako yang diberikan dan senyuman yang tertangkap kamera ramai beredar di media sosial dan portal berita lokal. Namun kini publik mulai mempertanyakan: apakah empati pejabat hanya muncul saat kamera menyala?


Faktanya, hanya beberapa langkah dari rumah Pak Jana, berdiri bilik reot milik Ibu Ami — seorang janda sepuh yang mengurus dua anak penyandang disabilitas mental. Hidup dalam kondisi memprihatinkan tanpa kamar mandi, tanpa dapur, dan ironisnya, tanpa sedikit pun perhatian dari pemerintah.


Masih di kampung yang sama, Pak Saram dan istrinya yang sudah lanjut usia bertahan hidup di gubuk tua yang jauh dari kata layak. Hingga saat ini, belum ada jejak kehadiran Camat atau pejabat wilayah ke tempat mereka. Lalu muncul pertanyaan sederhana namun mendasar: apakah harus viral dulu agar pejabat baru turun tangan?


Ketimpangan Kepedulian: Viral Dulu, Baru Dibantu?

Jika benar pihak Kecamatan Kresek sedang melakukan pemetaan sosial, mengapa dua warga yang justru lebih membutuhkan tak tersentuh program atau bantuan apa pun? Apakah program pendataan hanya berlaku bagi yang sudah “muncul di berita”?


Warga menilai, yang mereka butuhkan adalah kepedulian nyata, bukan citra. Mereka tahu membedakan siapa yang benar-benar hadir karena peduli dan siapa yang datang hanya demi sorotan publik.


"Sedekah yang ditunggu kamera bukanlah amal yang bernilai di sisi Allah," tegas Ustadz Ahmad Rustam, tokoh agama setempat. "Kalau gerak hanya karena viral, itu bukan kemanusiaan, itu riya. Camat harus paham, kepedulian sejati lahir dari iman, bukan dari pencitraan," lanjutnya.


Kritik Tajam untuk Aparat Wilayah

Humas YLPK PERARI DPD Banten, Buyung E., juga ikut menyoroti lemahnya pemantauan sosial oleh aparat wilayah. “Jangan tunggu rakyat berteriak atau media menyorot baru kalian bergerak. Fungsi pengawasan sosial itu melekat dan wajib dijalankan setiap hari,” ujarnya.


Hal senada juga dilontarkan Otoy, Sekjen LMPI (Laskar Merah Putih Indonesia) MAC Kresek. “Kalau baru gerak setelah viral, itu bukan kepedulian — itu ketakutan terhadap opini publik. Jangan pura-pura baru tahu, padahal warga seperti Ibu Ami dan Pak Saram sudah lama hidup dalam penderitaan,” tegasnya.


Ia juga menambahkan, “Sudah berkali-kali diberitakan, sudah berulang kali kami konfirmasi ke pihak kecamatan, tapi tak juga ada tindakan. Sampai kapan harus menunggu? Sampai rumah roboh? Sampai ada korban jiwa?”


Kepemimpinan Bukan Sekadar Tindakan Simbolik

Pertanyaan pun mengalir deras:

  • Di mana peran seksi kesejahteraan rakyat di kecamatan?
  • Apa yang dikerjakan bidang sosial dan pemberdayaan masyarakat?
  • Apakah data kemiskinan ekstrem hanya dikumpulkan sebagai laporan, bukan untuk ditindaklanjuti?


Desa dan kecamatan seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengawasan sosial, bukan hanya pelengkap laporan administratif.


Untuk itu, kepada Camat Tatang Suryana, masyarakat titip dua nama lagi: Ibu Ami dan Pak Saram. Jangan tunggu kamera. Rakyat bukan objek konten. Gerak cepat itu baik, tapi gerak adil jauh lebih mulia.


Karena ketika empati berubah jadi tontonan musiman, dan kepercayaan publik terkikis oleh sikap pilih kasih, di sanalah makna sejati kepemimpinan mulai runtuh. (Red)

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top